Rabu, 30 Maret 2016
KOPI GAYO MASA KOLONIAL BELANDA DI DAERAH GAYO
Pada akhir abad ke-19 kebijakan
pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan penetrasi di bidang pertanian
terjadi di kampung-kampung Gayo. Warga kampung yang biasa hidup dari pertanian
tradisional di sawah maupun ladang mulai diperkenalkan dengan tanaman
perkebunan modern. Perkebunan kopi di Gayo dibangun menjelang akhir abad ke-19
sebagai bagian dari proyek perkebunan yang dikembangkan oleh pemerintah
kolonial Belanda di Sumatera Timur. Setidaknya sejak tahun 1910 Urang Gayo
mulai mengenal komoditas perkebunan sawit dan karet yang juga diperkenalkan
Belanda di Sumatera Timur, Aceh Utara dan Aceh Barat. Pada tahun 1926, pohon
Pinus yang tumbuh di wilayah Gayo mulai digarap juga oleh Belanda disusul
dengan pembukaan perkebunan teh pada tahun 1930 an. Industrialisasi di Gayo
semakin meningkat dengan pembangunan Jalan Raya Takengon-Bireun pada tahun
1914.
Kopi yang ada di Gayo sering
disebut sebagai Hidup dan Matinya Urang Gayo yang didalamnya banyak tersimpan
aspek seperti nilai-nilai.sejarah, ilmu pengetahuan, sosial budaya, bahkan
tersirat nilai harga diri Urang Gayo. Semua nilai-nilai yang tersimpan dalam
kopi banyak yang telah diketahui secara umum namun masih banyak juga yang masih
tersirat. Penggalian nilai-nilai yang ada dalam kopi akhir-akhir ini telah
mulai dilakukan oleh peneliti-peneliti dari berbagai pihak.
Nilai-nilai sejarah, sosial,
budaya bahkan tersirat nilai harga diri Urang Gayo, mulai digali dari berbagai
aspek, mulai cerita turun temurun dari masyarakat Gayo sampai dengan berbagai
literatur yang telah ditulis oleh banyak kalangan yang berkompeten dalam bidang
penulisan sampai buku terjemahan yang diterjemahkan dari buku-buku berbahasa
Belanda. Dalam buku C. Snouck Hurgronje, Gayo dan penduduknya dituliskan bahwa
"sangat mengherankan di Tanah Gayo. Di mana-mana kita jumpai batang kopi.
Dari mana asalnya kopi di Gayo seorang pun tidak ada yang tahu. Dan sepanjang
ingatan mereka (Urang Gayo), tidak seorang pun yang mengaku pernah menanam kopi.
Dahulu Urang Gayo menganggap tanaman ini adalah tanaman liar, orang mengambil
batang dan cabangnya hanya untuk pagar kebun semata. Buah kopi yang masak
dibiarkan begitu saja dimakan oleh burung, selanjutnya menurut mereka burung
tersebutlah yang menyebarkan bibit tanaman kopi di Gayo".
Ada kutipan yang sangat menarik
dari buku C. Snouck Hurgronnje, dalam buku tersebut dinyatakan bahwa Urang Gayo
sendiri tidak tahu, bahwa kopi itu.bisa diolah menjadi minuman segar, yang
mereka tahu hanya memanggang daunnya untuk dihadikan teh. Hanya pada
akhir-akhir ini, sebagian orang sudah mengetahui bahwa buah kopi yang sudah
dikupas dan dikeringkan hingga berwarna hijau bijinya bisa dikonsumsi dan
menghasilkan uang, tentu saja dalam jumlah yang sedikit. Beberapa Are (bambu) di
bawa ke Keude Susoh dan juga bagian utara Aceh.
Apa yang sudah dituliskan oleh
Snouck dalam bukunya mengenai Gayo, sama dengan yang diungkapkan oleh beberapa
Petue di Gayo seperti Syawaluddin, seorang warga kampung Bebesen, menyatakan
bahwa penduduk Takengen sudah mengenal kopi lokal yang disebutnya "Kupi
Kolak Ulung" (robusta) sebagai minuman. Daun kopi robusta ini dipanggang
kemudian dicampur air panas dan diminum dengan gula yang terbuat dari aren
(gule aren atau gule tampang). Pendapat serupa juga dikatakan oleh Abdullah
Mongal, warga kampung Mongal yang oleh warga disapa dengan sebutan Gecik Tue
Mongal. Abdullah Mongal menyatakan bahwa sebelum kedatangan Belanda yang
membawa kopi Arabika, warga Takengen sudah mengenal tanaman kopi Robusta yang
tumbuh liar dan tinggi. Warga hanya mengambil daun kopi Robusta liar kemudian
memanggangnya di atas perapian kemudian diseduh air panas dan diminum bersama
gula aren sebagai pemanisnya.
Kasim Aman Armia, seorang warga
kampung Belang Gele, menyatakan bahwa kopi di Gayo sudah ada sebelum penjajah
Belanda tiba di Dataran Tinggi Gayo. Biji kopi yang merupakan cikal bakal
tanaman kopi di Gayo dibawa oleh seorang warga kampung Daling salah satu
kampung yang ada di Kecamatan Bebesen yang biasa dipanggil dengan Aman Kawa.
Aman Kawa membawa kopi dari Mekkah saat menunaikan ibadah haji, kemudian mulai
menanamnya. Kopi Aman Kawa dari kampung Daling kemudian dikembangkan lagi oleh
Aman Kupi, seorang penduduk Belang dan selanjutnya mulai menyebar ke berbagai
tempat sebagai tanaman pembatas kebun atau rumah.
Kasim Aman Armia menambahkan
lagi, perkebunan kopi yang dijalankan secara komersial di Belang Gele, dimulai
ketika Belanda masuk ke Takengen. Pada tahun 1930, Belanda membuka perkebunan
kopi Belang Gele setelah melakukan pemetaan dan menyimpulkan lokasi paling
ideal untuk tanaman kopi adalah di Belang Gele dan Bergendal. Di Belang Gele
Belanda bersama pekerja kebun dari Jawa membuka lahan seluas 125 hektar.
Perkebunan Belanda di Belang Gele dinamakan perkebunan "Wilhelmina Belang
Gele" yang ditulis pada bangunan perkebunan. Belanda juga membangun pabrik
pengolahan kopi lengkap dengan rumah para pekerja yang berasal dari Jawa.
Perumahan ini disebut Pondok, sementara perkebunan kopi Burni Bius dikelola
oleh Jerman.
Sebagai hiburan bagi pekerja di
perkebunan kopi, sebulan sekali Belanda mengadakan pertunjukan ketoprak.
Sepanjang tahun 1930 hingga 1941, Belanda mengelola perkebunan kopi Belang
Gele. Bapak Jamuri dan Supangat, warga kampung Arul Gele, keduanya adalah anak
dari pekerja yang berasal dari Jawa mengatakan bahwa perkebunan kopi Belanda
ada di Dataran Tinggi Gayo berlokasi pada beberapa titik yaitu Belang Gele,
Burni Bius, Jamur Barat, dan Arul Gele. Pertanyaan pak Jumuri dan pak Supangat
ini dikuatkan dengan adanya situs peninggalan Belanda berupa pemandian air
panas di kampung Weh Porak (Kampung Weh Porak adalah pemekaran dari Burni Bius)
yang terletak di Kecamatan Silih Nara. Menurut mereka, Redelong pada masa
Belanda bukan untuk perkebunan kopi tapi perkebunan teh yang dikuatkan dengan
masih adanya tanaman teh yang menjadi pagar kebun rakyat sampai saat ini.
Tanaman kopi (Coffea sp) adalah
jenis spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan
genus Coffea. Tanaman ini tumbuhnya tegak, bercabang dan bila dibiarkan tumbuh
dapat mencapai tinggi 12 meter. Daunnya bulat telur dengan ujung agak
meruncing, daun tumbuh berhadapan dengan batang, cabang dan ranting-ranting.
Tanaman kopi umumnya akan mulai berbunga setelah berumur sekitar 2 tahun.
Kehadiran kekuasaan Belanda di
Tanoh Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan hadirnya
pendatang-pendatang yang menetap disini. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah
dijadikan Onder AfdellingNordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Di sisi
lain kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan membuka lahan
perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanoh Gayo (diketinggian 1.000-1.700 m
di atas permukaan laut). Kondisi ini berbeda dengan lokasi tanam di Sumatera
Timur, kopi di areal bekas tanaman tembakau Deli yang kurang baik. Tanaman
tembakau Deli dikatakan kurang baik karena masa depan Tembakau Deli waktu itu
masih belum pasti.
Sebelum kopi hadir di dataran
tinggi Gayo, tanaman teh dan lada telah lebih dahulu diperkenalkan. Menurut
ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul "Pepercultuur in
Atjeh" menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Madagaskar dalam abad
ke 7 atau abad ke 8 ke Tanah Aceh. Sayangnya kedua tanaman itu kurang mendapat
perhatian serius dari pemerintah kolonial.
Urang Gayo sebelum kedatangan
Belanda waktu itu hanya bersawah dan bercocok tanam lainnya. Belanda yang
memulai investasinya memperkenalkan kopi, teh, alpukat, pinus dan terong
Belanda (Agur dalam bahasa Gayo". Saat itu alpukat merupakan makanan mewah
khusus bagi orang Belanda, jika terbukti ada masyarakat pribumi yang menanam
akan ditindak, namun alpukat ternyata disukai anjing sehingga biji alpukat
tumbuh dimana-mana, sehingga tidak bisa dikontrol oleh Belanda lagi.
Daerah Linge merupakan dataran
tinggi di atas 1400 mdpl di atas permukaan laut sehingga tidak cocok untuk kopi
namun bagus untuk ditanam pinus. Pinus di Linge ternyata menghasilkan getah
Pinus terbaik di dunia. Pada tahun 1908 pertama kali Belanda memperkenalkan
jenis kopi Arabika yang diintroduksi ke Takengen. Ditanam pertama kali di
sebelah Utara Danau Laut Tawar yang disekitar Paya Tumpi. Kemudian Belanda
mengembangkan kawasan perkebunan lainnya yang dikelola sebagai tanaman
komersial yang hasilnya diekspor keluar negeri bersama tanaman sayur-sayuran
seperti kentang, teh dan getah pinus mecusi (terpentin).
Selain di Paya Tumpi, Belanda
juga memperkenalkan dan membuka perkebunan Kopi pertama seluas 100 Ha pada
tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Bebesen, Aceh Tengah. Dua tahun kemudian (1920) muncul perkampungan baru
masyarakat Gayo disekitar perkebunan kopi milik Belanda dan pada tahun
1925-1930 perkebunan kopi tidak lagi menjadi milik pemerintah Belanda tetapi
dalam rentang tahun itu masyarakat sudah mulai membuka lahan baru untuk
perkebunan kopi milik rakyat. Pembukaan lahan baru itu didasari pada
pengetahuan masyarakat yang diperoleh dari pengalaman bertetangga dengan
perkebunan Belanda. Pada akhir tahun 1930 an empat buah kampung telah berdiri
di sekitar kebun Belanda di Belang Gele, yaitu kampunh Belang Gele, Paya Sawi,
Atu Gajah dan Pantan Peseng.
Sumber: Buku Kopi dan Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Gayo
KEJURUN BUKIT PADA MASA KOLONIALISME BELANDA
Keturunan Raja Bukit terdiri dari
dua cabang keturunan. Salah satu cabang keturunannya ialah Raja Bukit Mamat.
Raja Bukit Mamat alias Aman Samidah atau terkenal dengan sebutan Raja Bukit
Lah. Disebut Raja Bukit Lah karena rumahnya berada di tengah-tengah
perkampungan. "Lah" dalam bahasa Gayo artinya di tengah-tengah. Raja
Mamat mempunyai seorang anak.laki-laki namanya Maun dan dua anak.perempuan.
Seorang diantara anak.perempuannya kawin dengan seorang Aceh namanya Si Gam,
yaitu anak dari Panglima Kandang dari Semoti Aceh Utara dan seorang lagi kawin
dengan orang Belah Lot Kebayakan.
Raja Bukit Mamat meningha dunia
tahun 1901. Setelah meninggal, istrinya nikah dengan saudara suaminya yaitu
Aman Seri Kuala atau aman Seri Kala dari Linung Bulen Bintang yang kemudian
dipanggil juga sebagai Aman Cayamani, sebagai penggantinya dipilih anaknya yang
masih kecil yaitu Maun. Karena masih kecil pemerintahan dijalankan oleh
familinya yang tertua. Menurut penulis Belanda JCJ. Kempees ketika.Belanda
menyerbu Tanah Gayo tahun 1904 Raja Maun masih berumur 7 tahun.
Cabang lain dari keturunan Raja Bukit.ialah Raja
Bukit Jaran. Raja Jaran juga masih muda. Panggilan sehari-hari ialah Sagul.
Ketika telah berumah tangga dan memiliki anak, ia dipanggil aman Usin. Rumahnya
terletak di pinggir kampung karena itu dipanggil Raja Bukit Eweh dalam bahasa
Gayo artinya pinggir.
Jaran alias Sagul alias aman Usin
alias Raja Bukit Eweh memiliki seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan. Saudaranya ialah Malim, Dalu dan Rohan. Saudara sepupunya Aman Mayak
Berahi nikah dengan seorang wanita Aceh.
Ketika Sultan Aceh mengundurkan diri ke Tanoh Gayo
tahun 1901, Sagul Raja Bukit Eweh ini menggabungkan diri dengan rombongan
Sultan. Bersama rombongan Sultan berangkat ke Rawe, kemudian ke Lenang, Pamar
dan terus ke Pedue. Rombongan Sultan diserang oleh Belanda dan Raja Bukit Eweh
tewas dalam serangan Belanda ini tahun 1902.
Kedua cabang keturunan Raja Bukit
ini.saling berebut untuk mendapatkan kedudukan sebagai Raja Bukit, menurut Dr.
Snouck Hurgronje, sebenarnya Raja Bukit Eweh lebih berhak untuk duduk sebagai
Raja Bukit antara lain karena soal kemampian. Tetapi dalam kenyataannya Raja
Bukit Mamat dan keturunannya yang berhasil menjadi Raja Bukit.
Setelah dewasa Raja Maun
menjalankan tugasnya sebagai Raja Bukit. Pada masa setelah Belanda menduduki
daerah Gayo Laut, terjadi suatu peristiwa pembunuhan. Raja Maun mati terbunuh.
Setelah dia meninggal dunia, sebagai penggantinya diangkat Raja Ilang sebagai
Raja Bukit. Selanjutnya digantikan oleh Raja Zainuddin menjelang kejatuhan
Belanda, sampai kedatangan pasukan kaum fasis Jepang tahun 1942.
Kebayakan tempat kedudukan Raja
Bukit terletak di pinggir Danau Laut Tawar, kira-kira 2 atau 3 Km dari Bebesen
tempat kedudukannya semula. Luas daerah Kejurun Bukit kira-kira sama dengan
luas Kejurun Bebesen, penduduknya sedikit lebih banyak dari Kejurun Bebesen.
Kejurun Bukit menguasai daerah bagian Timur ke Utara daerah Gayo Laut (Gayo
Lut).
Kampung Kebayakan sendiri pernah
dibakar habis oleh Van Dalen ketika dia mengadakan operasi penyelidikan ke
daerah Gayo Lut sekitar tahun 1901, karena rakyatnya tidak mau menyerah kepada
Belanda. Kampung-kampung terpenting yang termasuk ke dalam daerah Kejurun Bukit
antaranya ialah Kebayakan pusat kedudukan Raja Bukit, Bale, Asir-Asiren,
Kenawat, Rawe, Toweren, Bintang, Teritit, Redelong, Tunyang, Timang Gajah dan
lainnya.
Menurut Raja Item salah seorang
turunan dari Raja Bukit Eweh, penduduk Kejurun Bukit dibagi dalam 14 Belah induk
yaitu Belah Bukit Mamat, Belah Bukit Lah, Belah Bukit Jaran atau Belah Bukit
Eweh, Belah Gunung, Kala, Pengulu Beruksah, Pengulu Mude, Pengulu Jalil,
Pengulu Sagi, Meluem, Pengulu Lot, Bujang, Timangan, Batin dan Pengulu Cik
Serule.
Dari belah induk ini terjadi lagi
pecahan di berbagai kampung baru sebagai akibat dari perpindahan penduduk untuk
mencari lapangan hidup baru. Pecahan ke Bintang antaranya belah Wak, Serampak,
Setie, Gele, Hakim, Mude, Reje Baru, Gunung Empat, Gunung Mude, dan Bukit Eweh.
Pecahan ke Toweren ialah belah Baluntara, Gunung Mude, Gunung Empat dan Belah
Lot Imem. Pecahan ke Bale ialah belah Bale, Hakim, Bujang, Cik Serule, dan
belah Cik Meluem. Pecahan ke Redelong ialah Belah Bale Reje Guru, Redelong Tue,
dan Belah Bale. Pecahan ke Kenawat ialah Cik, Setie Reje, dan Belah Suku.
Seperti telah dijelaskan dalam
kisah Gajah Putih, keturun Raja Bukit percaya bahwa "Sengeda" adalah
asal keturunan mereka. Sudah pula dijelaskan menurut M. Djunus Jamil bahwa
Sengeda berhubungan dengan pembentukan Kerajaan Linge. Sengeda adalah anak Reje
Linge ke XIII, dan Sengeda diangkat menjadi Raja Linge ke XV menggantikan
abangnya yang dituduh telah membunuh Bener Merie dalam peristiwa Gajah Putih.
Sedangkan penyair Mude Kala menyatakan bahwa kisah Sengeda adalah berhubungan
dengan pembentukan Kejurun Bukit, dimana Sengeda telah diangkat menjadi Raja
Bukit pertama di Gayo Lut.
bagaimana menurut para pembaca? share tulisan ini
untuk menambah wawasan Rakan Sebet Sudere si len.
Enti Lupe komentare boh....
Sumber Bacaan : Buku Perang Gayo Alas Melawan
Kolonialis Belanda karangan M. H. Gayo.
FUNGSI PERIBAHASA DAN PEPATAH GAYO
Peribahasa dan Pepatah Gayo pada umumnya
berisi nasehat, yang berupa anjuran, ajakan, perintah, sindiran atau larangan
dalam usaha pembinaan ketaatan beragama, persatuan dan kesatuan, adat istiadat,
pendidikan, sikap hidup, dan perwatakan dalam upaya mewujudkan masyarakat yang
baik dan sejahtera.
Sebagai ungkapan, nasehat dengan bahasa
berkias dalam bentuk peribahasa dan pepatah itu biasanya lebih memberikan hasil
daripada berupa kata biasa yang disampaikan secara terus terang. Dengan cara
seperti itu dan karena sifat ungkapan yang sangat umum itu, yang dinasehati
tidak merasa bahwa digurui sehingga ia tidak tersinggung. Misalnya, kepada
orang yang boros supaya berhemat dikatakan Hemat
Jimet Tengah Ara, Inget-Inget Sebelum Kona. Maksudnya ialah penghasilan
seseorang selalu ada pasang surutnya. Kadang-kadang penghasilan itu banyak
diperoleh dan adakalanya sedikit, bahkan kadang-kadang sama sekali tidak ada.
Peribahasa dan pepatah itu menasehai orang apabila penghasilan sedang tak ada
barulah uang simpanan digunakan.
Kemajuan dan kemunduran suatu kelompok
atau suatu bangsa ditentukan oleh kualitas kebersamaan mereka dalam kesatuan
dan persatuannya. Penggalangan persatuan dan kesatuan itu merupakan syarat
mutlak untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Nasehat untuk itu dalam
peribahasa dan pepatah Gayo adalah Beloh
Sara Loloten, Mewen Sara Tamunen. Searah dalam bepergian dan searah pula
dalam tujuan.
Seniman gayo ceh To'et
·
To’et
To’et lebih dikenal
masyarakat daripada nama asalnya yakni Abdul Kadir. Ia dilahirkan di Kampung
Kemili, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Ia dibesarkan di Kampung Gele Lungi,
Kecamatan Pegasing. Di sini ia mulai menjadi ceh, sejak tahun 1939 telah mulai mencipta kesenian didong. Akhirnya menjadi “Ceh Utama” (Ceh Kul) dalam kelop Sinar Pagi yang
dimotorinya sendiri (Melalatoa, 2001:97).
To’et terlahir dalam
kancah kesenian tradisional Gayo yang bernama didong. Kesenian ini merupakan suatu varian dari bentuk “nyanyian
rakyat” (folksong), di mana unsur
nyanyian dan lirik (puisi) mempunyai fungsi yang sama pentingnya. Kesenian ini
dilengkapi pula unsur tarian. Ciri lainnya adalah seni bertanding (games) antara dua kelompok yang dimotori
oleh aktor (ceh) seperti To’et ini
(Melalatoa, 2001:99).
MONUMEN RADIO RIMBA RAYA YANG TERLUPAKAN SEJARAHNYA
MONUMEN RADIO RIMBA RAYA adalah sebuah tugu yang dibangun untuk mengenang sejarah Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB.
Monumen
tersebut terletak di kampung Rime Raya, kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Menurut
sejarahnya, perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli pada John Lee (seorang blasteran Manado-China) yang menjadi perantara pembelian
perangkat radio tersebut. Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di Malaysia dan
dibawa ke kota Juang Bireuen. Dari kota Bireuen, perangkat itu dibawa ke
Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat
dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat
mengudara, oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke kampung
Rime Raya yang saat itu masuk kecamatan Timang Gajah, Aceh Tengah.
Sebelumnya,
perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung Burni Bius, kecamatan
Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di kawasan itu tidak aman, penjajah
Belanda sedang memantau proses pengiriman perangkat radio itu, maka peralatan
tersebut ditempatkan di kampung Rime Raya.
Setelah
melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya, akhirnya awal
Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara yang
memberitakan bahwa Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar. Dari Radio
Rimba Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang
kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan negara dari penjajahan
Belanda.
Peran Dalam
Kemerdekaan Indonesia
Pada awalnya, selain mengudara untuk
kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai
pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata.Siaran Radio
Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa,
yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
Dalam tempo enam bulan mengudara,
radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat
perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain
berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya
juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Waktu itu Radio Rimba Raya setiap
hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu
selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga
dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di
New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita
yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi
tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio
Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan
nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan
satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia. Radio ini terus berperan
sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda
pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag.
Sebelum ditempatkan di hutan Raya
Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi
yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan. Di
Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan
kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah
gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayung (sekarang pusat kota). Pemancar
di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayung, dihubungkan dengan kabel dan selain
juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu
Koetaradja direbut musuh.
Pemancar radio pada saat itu tidak
sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember
1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan
ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju,
ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai
strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik. Rencana
pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan,
mengingat risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus
mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko
yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya,
Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.
Sebelumnya, untuk mendapatkan radio
itu Komando Tentera Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia)
bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa
Agresi Belanda-I (21 Juli 1947). Perangkat radio dan kelengkapannya itu
diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai ”Yu”,
Langsa, Aceh Timur.
Radio Rimba Raya itu juga sempat
dimanfaatkan oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef, sebagai
pemancar siaran umum sebelum diangkut ke Aceh Tengah. Menurut beberapa tokoh
pejuang kemerdekaan lainnya di Aceh, seperti yang diungkapkan, Teuku Ali Basjah
Talsya, peranan Radio Rimba Raya sangat besar dalam sejarah mempertahankan
kemerdekaan di tanah air.
Hingga tahun 1950, Radio Rimba Raya
masih mengundara. Radio Rimba Raya selain menyampaikan berita kemerdekaan, RRI
Banda Aceh juga berperan penting dalam berbagai pemberitaan dan menyiarkan
radiogram kepada wakil pemerintah di luar negeri.
Sekarang ini perangkat peninggalan
Radio Rimba Raya itu tidak diketahui jejaknya, apakah masih ada atau sudah
hilang sama sekali,. Kalaupun masih ada perangkat radio itu, kemungkinan
tersimpan di Museum Jogyakarta
Radio Rimba Raya berjasa sangat
besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda
ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air
sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Aceh
Tengah. Bahkan, siaran Radio Rimba Raya saat menyampaikan berita tentang
Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di
Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina)
bahkan Australia dan Eropa sehingga negara-negara luar mengetahui bahwa
Republik Indonesia masih ada.
Pada awalnya, selain mengudara untuk
kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai
pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran
Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima
bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab. Dalam tempo enam
bulan mengudara, dia telah mampu membentuk opini dunia serta
"membakar" semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh
beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia
yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri
akbar di Aceh.
Radio Rimba Raya setiap hari juga
melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain
diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip
oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang
Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio
Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke
wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio
Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan
nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan
satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.
DIDONG GAYO
Didong adalah kesenian tradisional atau tradisi
lisan yang merupakan kofigurasi seni suara, seni sastra dan seni tari yang
berasal dari daerah Dataran Tinggi Gayo. Kesenian ini merupakan kesenian yang
dipertandingkan antara dua grup yang mewakili satu KLEN (clan), kampung, kecamatan, bahkan secara terselubung
mewakili satu “Paroh-Masyarakat).
Pertandingan ini biasanya digelar pada
malam hari dan semalam suntuk. Kedua grup tampil bergantian, masing-masing
selama setengah jam dalam satu ronde. Ronde-ronde itu diisi oleh masing-masing
grup yang menembangkan lirik-lirik puisi dengan melodi-melodi diiringi
gerak-gerak tertentu. Lirik-lirik dan melodi itu dilantunkan oleh duet atau
trio seniman yang disebut Ceh tadi
yang suaranya merdu, diiringi oleh gerakan-gerakan yang serasi oleh para
pengiring. Fungsi didong antara lain:
1. Untuk
mengisi kebutuhan akan ungkapan-ungkapan estetika, keindahan dan hiburan.
2. Untuk
mempertahankan struktur social.
3. Pelestarian
sistem budaya dalam meningkatkan nilai-nilai budaya dan norma-norma yang menata
kehidupan masyarakat Gayo.
4. Aspek
ekonomi untuk menutupi kekurangan dalam mencari dana untuk pembangunan di
daerah.
5. Menjadi
sarana kontrol sosial.
6. Sebagai
penerangan yang efektif dalam masyarakat Gayo.
Berikut ini adalah cuplikan syair Didong sebagai
karya sastra ciptaan To’et (salah seorang seniman Didong)…..
RENGGALI
Wahai Renggali…
yang harum harum harum mewangi…
renggali ini si tajuk hias…
ini lagu baru dekat tengah malam…
yang harum harum harum mewangi…
renggali ini si tajuk hias…
ini lagu baru dekat tengah malam…
Wahai renggali…
Yang harum harum harum mewangi…
ceh sekarang semakin banyak…
tetapi lagunya banyak tak mengena…
yang membeli kendaraan semakin banyak…
tetapi minyaknya semakin menyala…
Yang harum harum harum mewangi…
ceh sekarang semakin banyak…
tetapi lagunya banyak tak mengena…
yang membeli kendaraan semakin banyak…
tetapi minyaknya semakin menyala…
Wahai Renggali…
yang harum harum harum mewangi…
renggali ini si tajuk hias…
ini laguku bukan harta pinjam…
benih sawah semakin banyak…
tapi zakatnya semakin berkurang…
yang harum harum harum mewangi…
renggali ini si tajuk hias…
ini laguku bukan harta pinjam…
benih sawah semakin banyak…
tapi zakatnya semakin berkurang…
(terjemahan dari bahasa Gayo oleh L. K. ARA)
Jumat, 18 Maret 2016
KULTUR MASYARAKAT GAYO LUES
Kultur masyarakat Gayo Lues
secara spesifik memiliki keunikan tersendiri. Orang Gayo Lues dikenal keras
juga tidak mudah berbaur dengan pendatang baru. Mereka bersikap skeptis
terhadap orang luar yang memiliki kebebasan. Paling tidak, itulah kesan awal
yang tergambar bila kita mengunjungi zona pertanian dan perkebunan di Gayo
Lues. Kondisi geografis alamnya pun terlihat sangat mawarnai sisi kehidupan
orang Gayo Lues dalam kesehariannya.
Etnis Gayo sesungguhnya memang
jauh berbeda dengan etnis lain yang ada di Aceh. Namun dalam penggolongannya
etnis Gayo memiliki pecahan mata rantai garis keturunan yaitu Gayo Lut (etnis
yang menghuni wilayah pegunungan di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di sekitar
Danau Laut Tawar). Gayo Deret (mendiami wilayah selain sekitar Danau Laut
Tawar, meliputi Kabupaten Bener Meriah dan Gayo Lues, etnis yang mendiami
dataran tinggi ekosistem Leuser, namun ada pula yang membagi etnis di wilayah
Gayo Lues dengan sebutan Gayo Blang) dan Gayo Serbejadi (etnis Gayo yang
mendiami daratan kabupaten Aceh Timur). Karena letaknya berjauhan, maka ketiga
etnis Gayo ini secara turun temurun mengalami metamorphosis pada bahasa, adat
istiadat dan kebudayaan.
Penduduk Gayo Lues pada umumnya
menganut agama Islam. Nilai-nilai kehidupan keseharian masyarakat Gayo Lues
tetap berorientasi pada peraturan serta kaidah-kaidah Islam, termasuk
norma-norma yang terkandung didalamnya. Budaya yang luhur ini tetap terjaga dan
terpelihara hingga kini, bahkan kandungan nilai-nilai sakral didalamnya.
Simaklah ungkapan adat Gayo Lues
berikut ini:
1. Edet ikanung hukum, hukum ikanung agama.
Ungkapan ini
menggambarkan bahwa hukum adat berada dalam lingkungan hukum agama dan hukum
agama menjadi sumber hukum adat. Apalagi masyarakat etnis Gayo Lues
masyarakatnya masih homogeny, belum tersentuh budaya lain sehingga budaya dan
adat istiadatnya masih baku.
2. Adat urum hukum, lagu jet urum sifet.
Ungkapan tersebut
menggambarkan hubungan hukum adat dan hukum agama seperti sifat dengan zat
suatu benda, tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
3. Edet kin peger, agama kin senuen.
Ungkapan di atas
menyiratkan bahwa norma-norma adat, ibarat pagar yang berfungsi sebagai penjaga
dan agama diibaratkan sebagai tanamannya. Sehingga dalam kehidupan masyarakat
setempat, adat istiadat budaya etnis Gayo Lues terpadu dengan agama yang
menjadi perilaku.
Sumber: Ahmad Syai, M. Sn., dkk.
2012. Bines Tradisi Berkesenian
Masyarakat Dataran Tinggi Gayo. Banda Aceh: Badan Pelestarian Nilai Budaya
Banda Aceh
Rabu, 16 Maret 2016
SAMAN GAYO, bukan saman Aceh
Gayo Lues sebagai salah satu daerah kabupaten di Provinsi Aceh memiliki sebuah tarian yang syarat akan penggambaran tali persaudaraan yang kuat diantara masyarakat Gayo, tari Saman namanya. Tari Saman pada mulanya dipakai sebagai sarana pengembangan dan penyebaran agama Islam oleh masyarakat Gayo. Nama Saman sendiri berasal dari nama seorang alim ulama yang hidup di masa dahulu berdarah Gayo bernama Syeh Saman. Syeh Saman dianggap sebagai seorang yang melahirkan tarian Saman.
Tarian Saman memang merupakan tarian yang dianggap mewah bagi para penikmat seni karena tarian ini hanya menggunakan tepukan dada sebagai media pengiring lagu atau syair yang dilantunkan oleh para syeh dalam tari saman. Tari saman memiliki syarat utama yaitu penarinya harus berkelamin laki-laki tidak boleh wanita dengan anggapan bahwa bukanlah hal yang wajar dan enak dipandang mata jika seorang wanita menepuk-nepuk dada nya saat melantunkan tarian ini.
Tahun 2011 Tari Saman diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dunia.
TARI GUEL, Simbolisasi Legenda Sengeda dan Gajah Putih
Seni secara harfiah
diartikan sebagai suatu keindahan. Sebuah karya seni mengandung rasa keindahan
dan memberikan kepuasan batin bagi para penikmatnya. Oleh sebab itu apapun yang
menimbulkan pesona keindahan dan rasa kepuasan batin dianggap sebagai suatu
karya seni.
Perasaan
akan keindahan merupakan kebutuhan setiap manusia. Oleh karena itu dalam
kehidupan sehari-hari, untuk memenuhi kepuasan batin akan keindahan manusia
memerlukan karya seni. Dalam pemenuhan kebutuhan akan rasa keindahan tersebut
manusia menciptakan sebuah karya seni yang disusun berdasarkan
pemikiran-pemikirannya sehingga menjadi suatu karya seni yang indah, yang
menimbulkan kesenangan untuk dinikmati.
Dalam
menciptakan suatu karya seni, seringkali seorang seniman dipengaruhi oleh
berbagai latar belakang baik lingkungan budaya maupun lingkungan fisik. Maka,
karya seni yang diciptakan oleh suatu masyarakat tidak akan sama dengan
masyarakat lain, walaupun akan dijumpai kemiripan. Karya seni yang dihasilkan
oelh masyarakat pesisir pantai tidak akan sama dengan karya seni yang
diciptakan oleh masyarakat pegunungan atau pedalaman. Masyarakat pesisir akan
menciptakan karya seni yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Menangkap ikan,
gemuruh ombak,pasir laut menjadi insipirasi mereka. Dari inspirasi tersebut terciptalah
nyanyian yang bertempo cepat, tarian dengan ritme yang bergelombang.
Berbeda
halnya dengan masyarakat pegunungan atau pedalaman yang dalam kehidupan
sehari-harinya bergelut dengan suasana sepi, ritme kehidupan yang lamban,
mereka menciptakan karya seni yang mengambil inspirasi dari gesekan dedaunan,
gerakan hewan, suara binatang dan sebaginya. Karya seni yang terciptapun
memiliki ciri yang khas yakni, memiliki ritme yang lamban, menirukan gerak dan
suara binatang.
Tari
Guel seringkali dipentaskan oleh masyarakat Dataran tinggi Gayo pada waktu
pesta perkawinan. Mereka masih mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa
dan tari yang indah dalam Tari Guel.
Rabu, 02 Maret 2016
Sistem Belah/Clan (Garis Keturunan) dalam Suku Bangsa Gayo
Kalau
sekiranya Tanah Gayo sekarang keadaannya sama dengan situasi kehidupan generasi
Gayo terdahulu, maka bisa diperkirakan bahwa setiap orang masih mendiami Umah Pitu Ruang. Tentu bisa pula
dibayangkan bahwa desa-desa atau perkampungan orang Gayo terdiri atas Time Ruang-Time Ruang itu.
Sekarang
Umah Time Ruang sudah tidak berfungsi lagi sebagai tempat tinggalm karena itu
sebagai gantinya adalah lokasi perumahan yang dibangun berdempetan yang juga
menjadi simbol ikatan kekerabatan. Keadaan semacam ini dapat dilihat pada
perkampungan tradisional gayo di Kebayakan dan Bebesen.
Di
masyarakat gayo dikenal istilah belah diartikan sama dengan clan.
Belah adalah kelompok persekutuan hidup yang dapat disebut dengan istilah kerabat luas. Dalam sebuah kerabat luas
terdapat gabungan keluarga luas,
sedang sebuah keluarga luas mendiami masing-masig sebuah Time Ruang. Dengan
demikian yang dimaksud dengan keluarga luas ialah gabungan beberapa keluarga batih yang tinggal bersama
dalam sebuah Time Ruang. Dalam sebuah kerabat luas didalamnya para warga
dibedakan antara satu dengan lainnya berdasarkan atas kuru. Istilah ini
seringkali dihubungkan dengan “Pelapisan
Sosial” yang dikenal di gayo, yakni:
1.
Kuru Reje,
kerabat Bangsawan.
2.
Kuru Petue,
kerabat Cendekiawan (orang yang dianggap banyak pengetahuan tentang gayo),
3.
Kuru Imem,
kerabat Ulama (ahli agama),
4.
Rakyat,
masyarakat atau orang biasa.
Selain
pelapisan sosial yang didasarkan atas kuru atau “hubungan geneologi”, masyarakat Gayo mengenal juga pelapisan sosial
yang didasarkan atas status seseorang dalam masyarakat, yakni:
1.
Jema Wajeb yang
dalam arti sempit, disebut dengan “Lapisan
Pemimpin” yang anggotanya terdiri atas Reje, Petue dan Imem.
2.
Sudere,
dapat diartikan dengan rakyat biasa atau orang kebanyakan.
3.
Temuluk,
dapat disamakan dengan “budak”.
Selain
pelapisan sosial yang terjadi karena perbedaan Kuru dan pelapisan berdasarkan atas status sosial seseorang,
masyarakat gayo mengenal juga pelapisan yang didasarkan atas senioritas
seseorang yang dilihat dari segi umur. Seseorang yang berusia lanjut atau orang
tua (sitetue), selalu memperoleh
berbagai kehormatan dan tempat yang istimewa dalam berbagai upacara adat,
dibanding dengan warga masyarakat lainnya yang berusia lebih muda.
Selain
itu, masyarakat gayo membedakan juga seseorang dengan lainnya atas dasar
perkawinan. Seseorang yang sudah menikah dipandang lebih tinggi statusnya
dibandingkan dengan yang belum menikah. Karena itulah maka seseorang yang sudah
menikah sekali pun usianya lebih muda, berhak untuk mengemukakan
pendapatnyadalam pertemuan adat. Mereka yang sudah menikah oleh adat gayo
disebut Jema Wajib, sedangkan
seseorang yang usianya tua, tetapi belum menikah masih berstatus Jema Warus. Seseorang yang berstatus
Jema Warus, tidak memiliki hak suara dalam pertemuan adat, sekalipun
kehadirannya sangat diperlukan.
Sekalipun
belah dapat diartikan atau disamakan
dengan istilah marga di masyarakat Batak, namun dimasyakat gayo tidak ada
kebiasaan untuk menulis atau menggunakan nama marga dibelakang nama sendiri
seperti yang secara tradisional dipraktekkan di masyarakat Batak. Karena itu
seseorang dapat saja menulis nama-nama tambahan di belakang atau di depan nama
diri menurut selera masing-masing seperti berikut:
a.
Menggunakan nama
Suku Bangsa.
Ø Husain Gayo
Ø M. Daud Gayo
Ø Mizaska Gayo
b.
Menggunakan nama
Kampung
Ø Helmi Kala
Ø Abd. Rauf Hakim
Ø Syamsudin Nosar
c.
Menggunakan nama
Belah
Ø Afrianda Bujang
Ø Noer Tebe
Ø Syarif Bukit
d.
Karena
penggunaan nama tambahan di belakang nama diri bukan suatu keharusan dalam adat
gayo, akibatnya terjadi ketidakseragaman dalam menggunakan nama tambahan.
Seseorang dapat secara bebas memilih nama tambahan yang dianggapnya serasi
dengan nama dirinya yakni dengan “memodernisasi” nama belah, nama kampungm atau
nama sukum seperti:
Ø M. Jufri Caubat, berasal dari nama kampung Kebet di Bebesen.
Ø Lukman Ugati, singkatan dari U (Urang), Ga (Gayo),
Ti (Tingkem), jadi Ugati kepanjangan dari Urang Gayo Tingkem.
Ø Zainuddin Nosarios, berasal dari kata Nosar nama
sebuah kampung di Kebayakan.
Nama-nama
Belah di seluruh Tanoh Gayo dapat
dilihat berikut ini:
1.
Belah Daerah
Linge,
Ø Linge
Ø Lot
Ø Gading
Ø Cik
Ø Tengku
Ø Guru
Ø Gerpa
Ø Beno
Ø Payung
Ø Owaq
Ø Kerlang
Ø Bugak
Ø Tukik
Ø Lane
Ø Kute
Ø Robel
Ø Kute Baru
Ø Riem
Ø Kute Rayang
Ø Kute Keramil
Ø Uning
Ø Panyang penarum
Ø Lumut
Ø Pertik
Ø Sekinel
Ø Tekik
Ø Jamat
Ø Nasuh
2.
Nelah di daerah
Syiah Utama, antara lain:
Ø Kejurun
Ø Mude Tue
Ø Mude Baru
Ø Imem
Ø Bale
Ø Hakim
Ø Gerpa
Ø Uning
Ø Jalil
Ø Kerlang
Ø Payung
Ø Lane
Ø Beno
Ø Pasir Putih
3.
Belah di
Bebesen, antara lain:
Ø Munte Padang
Ø Ujung
Ø Cibero
Ø Kebet
Ø Melala Kemili
Ø Melala Toa
Ø Tebe Toa
Ø Suku
Ø Tebe Lah
Ø Setie Reje
Ø Melala Cik
Ø Cibero Cik
Ø Cibero Toa
Ø Munthe Kala
Ø Gading
Ø Gading Linge
Ø Linge Raja Kaya
Ø Tebe Uken
Ø Baluhen
Ø Munthe Lot
Ø Melala Sagi
4.
Belah di
Kebayakan, antara lain:
·
Sagi Onom
Ø Belah Lot
Ø Belah Kala atau Wakil
Ø Belah Jalil
Ø Belah Gading
Ø Belah Cik
Ø Belah Mude
·
Sagi Lime
Ø Belah Jongok
Ø Belah Bujang
Ø Belah Cik Serule
Ø Belah Penghulu Bukit
Ø Belah Timangan
Sumber: buku Riak Di
Danau Laut Tawar Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan Sosial di Gayo-Aceh Tengah.
Karangan Muklis Paeni. 2004.
Bagaimana
menurut para pembaca, jangan lupa di share dan komentar atas tulisan ini.
Langganan:
Postingan (Atom)